BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan, melindungi, dan menginformasikan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup".
Secara ilmiah kulit adalah lapisan terluar yang terdapat diluar jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh, kulit merupakan organ yang paling luas permukaan yang membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia.
Cahaya matahari mengandung sinar ultra violet dan melindungi terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh. misanya menjadi pucat, kekuning-kunigan, kemerah-merahan atau suhu kulit meningkat.
Ganguan psikis juga dapat mengakibatkan kelainan atau perubahan pada kulit misanya karna stres, ketakutan, dan keadaan marah akan mengakibatkan perubahan pada kulit wajah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1). Apa yang dimaksud dengan sistem integumen?
2). Apa fungsi dari sistem integumen?
1.3 TUJUAN
1). Untuk mengetahui tentang sistem integumen
2). Untuk mengetahui fungsi sistem integumen
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Integumen
Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup". Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan, melindungi, dan menginformasikan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir).
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Luas kulit pada manusia rata-rata 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak atau beratnya sekitar 16 % dari berat badan seseorang.
Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari.
Sifat-sifat anatomis dan fisiologis kulit di berbagai daerah tubuh sangat berbeda. Sifat-sifat anatomis yang khas, berhubungan erat dengan tuntutan -tuntutan faali yang berbeda di masing-masing daerah tubuh, seperti halnya kulit di telapak tangan, telapak kaki, kelopak mata, ketiak dan bagian lainnya merupakan pencerminan penyesuaiannya kepada fungsinya masing - masing. Kulit di daerah -daerah tersebut berbeda ketebalannya, keeratan hubungannya dengan lapisan bagian dalam, dan berbeda pula dalam jenis serta banyaknya andeksa yang ada di dalam lapisan kulitnya.
Pada permukaan kulit terlihat adanya alur-alur atau garis-garis halus yang membentuk pola yang berbeda di berbagai daerah tubuh serta bersifat khas bagi setiap orang, seperti yang ada pada jari-jari tangan, telapak tangan dan telapak kaki atau dikenal dengan pola sidik jari (dermatoglifi).
2.1.1 Kulit
Kulit adalah lapisan terluar pada tubuh manusia. Kulit tersusun atas tiga lapisan, yaitu epidermis (lapisan luar/kulit ari), dermis (lapisandalam/kulit jangat). Dan hipodermis (jaringan ikat bawah kulit).
1) Epidermis
Epidermis yang merupakan lapisan terluar terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum. stratum granulosum, dan stratum germinativum. Stratum korneum tersusun dari sel-sel mati dan selalu mengelupas. Stratum lusidum tersusun atas sel-sel yang tidak berinti danberfungsi mengganti stratum korneum. Stratum granulosum tersusun atas sel-sel yang berintidan mengandung pigmen melanin. Stratum germinativum tersusun atas sel-sel yang selalum embentuk sel-sel baru ke arah luar.
• Stratum korneum, merupakan lapisan zat tanduk, mati dan selalu mengelupas.
• Stratum lusidium, merupakan lapisan zat tanduk
• Stratum granulosum, mengandung pigmen
• Stratum germonativum, selalu membentuk sel-sel baru ke arah luar
2) Dermis
Lapisan ini mengandung pembuluh darah, akar rambut, ujung syaraf, kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Kelenjar keringat menghasilkan keringat. Banyaknya keringat yang dikeluarkan dapat mencapai 2.000 ml setiap hai, tergantung pada kebutuhan tubuh dan pengaturan suhu. Keringat mengandung air, garam, dan urea. Fungsi lain sebagai alat ekskresi adalah sebagai organ penerima rangsangan, pelindung terhadap kerusakan fisik, penyinaran, dan bibit penyakit, serta untuk pengaturan suhu tubuh. Pada suhu lingkunga tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan memudahkan proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya kelenjar keringat mengakibatkan keluarnya keringat ke permukaan kulit dengan cara penguapan. Penguapan mengakibatkan suhu dipermukaan kulit turun sehingga kita tidak merasakan panas lagi. Sebaliknya, saat suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat tidak aktid dan pembuluh kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak membuang sisa metabolisme dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang, sehingga suhu tubuh tetap dan tubuh tidak mengalami kendinginan. Keluarnya keringat dikontrol oleh hipotamulus. Dermis terletak di bawah epidermis. Lapisan ini mengandung akar rambut, pembuluh darah, kelenjar, dan saraf. Kelenjar yang terdapat dalam lapisan ini adalah kelenjar keringat (glandula sudorifera) dan kelenjar minyak ( glandula sebasea). Kelenjar keringat menghasilkan keringat yang di dalamnya terlarut berbagai macam garam. terutama garam dapur. Keringat dialirkan melalui saluran kelenjar keringat dan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui poripori. Di dalam kantong rambut terdapat akar rambut dan batang rambut. Kelenjar minyak berfungsi menghasilkan minyak yang berfungsi meminyaki rambut agar tidak kering. Rambut dapat tumbuh terus karena mendapat sari-sari makanan pembuluh kapiler di bawah kantong rambut. Di dekat akar rambut terdapat otot penegak rambut.
3) Hipodermis
Hipodermis terletak di bawah dermis. Lapisan ini banyak mengandung lemak. Lemak berfungsi sebagai cadangan makanan, pelindung tubuh terhadap benturan, dan menahanpanas tubuh. kulit dapat dibedakan yaitu;
a. Kulit Tebal
Tebal 0,8 mm ± 1,4 mm. Terdiri dari 5 lapisan. Dari bawah yaitu : Stratum Basale (Germinativum), Stratum Spinosum, Stratum Granulosum, Stratum Lucidium, dan Stratum Corneum.
b. Kulit Tipis
Tebal 0,07 mm ± 0,12 mm. Memiliki 4 lapisan, tanpa Stratum Lucidium (Guton, Arthur C.), terdapat pada bagian yang kekurangan rambut (telapak kaki dan telapak tangan).
Fungsi Kulit
Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain menjalin kelangsungan hidup secara umum yaitu:
1. Fungsi proteksi (melindungi). Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi (lisol, karbol dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar ultraviolet, gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam melindungi kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan tanning (pengobatan dengan asam asetil).
2. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit antara pH 5-6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan sel-sel kulit yang telah mati melepaskan diri secara teratur.
3. Fungsi absorbsi (menyerap). Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu juga yang larut dalam lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan dan metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di antara sel, menembus sel-sel epidermis, atau melalui saluran kelenjar dan yang lebih banyak melalui sel-sel epidermis.
4. Fungsi kulit sebagai pengatur panas (regulasi) Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal ini karena adanya penyesuaian antara panas yang dihasilkan oleh pusat pengatur panas, medula oblongata. Suhu normal dalam tubuh yaitu suhu viseral 36-37,5 derajat untuk suhu kulit lebih rendah. Pengendalian persarafan dan vasomotorik dari arterial kutan ada dua cara yaitu vasodilatasi (kapiler melebar, kulit menjadi panas dan kelebihan panas dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan cairan pada permukaan tubuh) dan vasokonstriksi (pembuluh darah mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya keringat dibatasi, dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan).
Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat, kontraksi otot, dan pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus vaskular dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi dinding pembuluh darah belum terbentuk sempurna sehingga terjadi ekstra cairan karena itu kulit bayi tampak lebih edema karena lebih banyak mengandung air dan natrium.
5. Fungsi ekskresi. Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum (bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit.
6. Fungsi persepsi. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Respons terhadap rangsangan panas diperankan oleh dermis dan subkutis, terhadap dingin diperankan oleh dermis, perabaan diperankan oleh papila dermis dan markel renvier, sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis. Serabut saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
7. Fungsi pembentukan pigmen. Set pembentuk pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Enzim melanosum dibentuk oleh alat golgi dengan bantuan tirosinase, ion Cu, dan O2 terhadap sinar matahari memengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan-tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya dibawa oleh melanofag. Warna kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen kulit melainkan juga oleh tebal-tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.
8. Fungsi keratinisasi. Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Semakin lama intinya menghilang dan keratonosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus menerus seumur hidup. Keratinosit melalui proses sintasis dan degenerasi menjadi lapisan tanduk yang berlangsung kira-kira 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis-fisiologik.
9. Fungsi pembentukan vitamin D. Dengan mengubah dehidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut. Pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.
2.1.2 Rambut
Rambut adalah organ seperti benang yang tumbuh di kulit manusia. Rambut muncul dari epidermis (kulit luar), walaupun berasal dari folikel rambut yang berada jauh di bawah dermis. Struktur mirip rambut, yang disebut trikoma.
Fungsi rambut:
a) Isolator , pengatur suhu tubuh
b) Organ indera misalnya pada vibrissae atau rambut sinus.
2.1.3 Kuku
Kuku adalah bagian tubuh yang terdapat atau tumbuh di ujung jari. Kuku tumbuh dari sel mirip gel lembut yang mati, mengeras, dan kemudian terbentuk saat mulai tumbuh dari ujung jari. Pertumbuhan kuku 1 minggu ± 0,5 mm, kuku jari tangan tumbuh lebih cepat dibandingkakn kuku jari kaki. Pertumbuhan kuku juga dipengaruhi oleh panas tubuh.
Nutrisi yang baik sangat penting bagi pertumbuhan kuku. Sebaliknya, kalau kekurangan gizi atau menderita anoreksia nervosa, pertumbuhan kuku sangat lamban dan rapuh. Fungsi utama kuku adalah melindungi ujung jari yang lembut dan penuh urat saraf, serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan rambut yang antara lain terbentuk dari keratin protein yang kaya akan sulfur. Pada kulit di bawah kuku terdapat banyak pembuluh kapiler yang memiliki suplai darah kuat sehingga menimbulkan warna kemerah-merahan. Seperti tulang dan gigi, kuku merupakan bagian terkeras dari tubuh karena kandungan airnya sangat sedikit.
2.1.4 Kelenjar
Kelenjar adalah alat tubuh yang menghasilkan getah atau sekret tertentu.
a). Kelenjar keringat
Kelenjar keringat berupa saluran melingkar dan bermuara pada kulit ari dan berbentuk pori-pori halus. Produksi keringat dimulai dari kapiler darah, kelenjar keringat menyerap air dengan larutan NaCl dan sedikit urea. air beserta larutannya di keluarkan melalui pori-pori kulit, yaitu tempat air dikeluarkan dan merupakan penyerapan panas tubuh. Kegiatan kelenjar keringat di bawah pengaruh pesat pengatur suhu badan sistem saraf pusat, kecuali pengeluaran keringat yang tidak rutin. Sekresi kelenjar keringat disebut keringat atau sudor. Secara histologis kelenjar keringat termasuk tipe tubuler bergelung dan mirokrin.
Faktor- faktor yang mempengaruhi pengeluaran keringat, antara lain :
1. Pancaran terik matahari
2. Pada waktu berolah raga
3. Rangsangan saraf yang kuat, dan lain sebagainya.
Fungsi kelenjar keringat selain sebagai alat sekeresi juga berperan sebagai alat pengatur suhu (thermoregulasi).
b). Kelenjar lemak atau kelenjar sebaceous
Kelenjar keringat menghasilkan minyak unuk mencegah kekeringan. pada kelenjar lemak terdapat butir sekresi yang disebut sebolina. Secara histologi tergolong dalam tipe alveolar / achiner bergelung dan holokrin, serta mempunyai fungsi sebagai proteksi.
2.2 Fungsi Sistem Integumen
a. Pelindung dari kekeringan, invasi mikroorganisme, sinar ultraviolet dan mekanik, kimia, atau suhu.
b. Penerima sensasi, sentuhan, tekanan, nyeri, dan suhu
c. Pengatur suhu, menurunkan kehilangan panas saat suhu dingin dan meningkatkan kehilangan panas saat suhu panas
d. Fungsi metabolic, menyimpan energi melelui cadangan lemak, sintesis vitamin D.
e. Ekskresi dan absorpsi.
2.3 Kelainan sistem integumen
Ada beberapa kelainan sistem integumen diantaranya yaitu:
a. Varisela
Varisela merupakan suatu infeksiyang disebabkan oleh virus varisela zoester yang menyerang kulit dan mukosa dengan kelainan berbentuk vasikula yang tersebar. Biasanya menyerang pada anak- anak ddan bersifat mudah menular.
b. Herpes zoester
Herpes zoester (shingles, cacar monyet ) merupakan kelainan inflamatorik viral dimana virus penyebabnya menyebabakan erupsi vesikular yang terasa nyeri disepanjang distribusi saraf sensorik dari satu atau lebih ganglion posterior. Infeksi ini disebabkan oleh virus varisela, yang dikenal sebagai virus varisela- zoester. Virus ini merupakan anggota kelompok virus DNA. Virus cacar air dan herpes zoester tidak dapat dibedakan sehingga diberi nama virus varisela- zoester.
c. Impetigo
Impetigo merupakan penyakit infeksi piogenik pada kulit yang bersifat superfisial, mudah menular yang disebabkan oleh Staphilococcus dan streptococcus.
d. Folikulitis
Folikulitis adalah respon peradangan pada folikel rambut akibat infeksi folikel rambut atau satu folikel rambut.
e. Selulitis
Selulitis merupakan implamasi jaringan subkutan dimana proses implamasi, yang umumnya dianggap sebagai penyebab adalah bakteri s. Aureus dan atau streptococcus.
f. Akne vulgaris ( jerawat )
Akne vulgaris merupakan kelainan folikuler umum yang mengenai folikel pilosebasea (folikel rambut) yang rentan dan paling sering ditemukan didaerah muka, leher, serta badan bagian atas.
g. Tinea korporis
Tinea korforis adalah infeksi dermatofit pada kulit tubuh tidak berambut yaitu selangkangan, telapak tangan, dan telapak kaki.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN
1.1 PROSES KEPERAWATAN PASIEN HERPES ZOESTER
3.1.1 Pengertian
Herpes zoester (shingles, cacar monyet ) merupakan kelainan inflamatorik viral dimana virus penyebabnya menyebabakan erupsi vesikular yang terasa nyeri disepanjang distribusi saraf sensorik dari satu atau lebih ganglion posterior. Infeksi ini disebabkan oleh virus varisela, yang dikenal sebagai virus varisela- zoester. Virus ini merupakan anggota kelompok virus DNA. Virus cacar air dan herpes zoester tidak dapat dibedakan sehingga diberi nama virus varisela- zoester.
Patogenesis herpes zoeser belum seluruhnya dapat diketahui. Selama terjadi varisela, virus varisela zoester berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut sarf sensori ke ganglion sensori. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoester pada umumnya terjadi dermatom sesuia dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoester laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan imunosupresidan imunitas selular yang merupakan faktro penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.
Komplikasi herpes zoester dapat terjadi pada 10- 15% kasus, komplikasi yang terbanyak adalah neuralgia pasca- herpatik yaitu berupa ras nyeri yang persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia diatas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoester generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.
3.1.2 Etiologi
Herpes zoester disebabkan oleh infeksi vorus varisela zoester (VVZ) dan tergolong virus berinti DNA. Virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamily alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik, dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta, dan gama. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebakan infeksi primer pada sel efitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten di dalam neuron dari gangglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang reatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek, serta mempunyai enjim yang penting untuk reflikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxipidine (thinidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.
3.1.3 Patofisiologi
Sesudah seseorang menderita cacar air, virus varisela zoester yang diyakini sebagai penyebab terjadinya penyakit ini hidup secara inaktif (dormant) di dalam sel-sel saraf di dekat otak dan medula spinalis. Kemudian hari ketika virus yang laten ini mengalami reaktifasi, virus tersebut berjalan lewat saraf perifer ke kulit. Virus virasela yang yang dorman diaktifkan dan timbul vesikel-vesikel meradang unirateral disepanjang satu dermatom. Kulit disekitarnya mengalami edema dan pendarahan. Keadaan ini biasanya didahului atau disertai nyeri hebat dan atau rasa terbakar.
Meskipun setiap saraf terkena, tetapi saraf torakal, lumbal, atau kranial agaknya paling terserang. Herpes zoester dapat berlangsung selama kurang lebih 3 minggu.
Adanya keterlibatan saraf perifer secara lokal memberikan respon nyeri, kerusakan intregitas jaringan terjadi akibat adanya vesikula. Respon sistemik memberikan manipestasi peningkatan suhu tubuh, perasaan tidak enak badan, dan gangguan gastrointestinal. Respon psikologis pada kondisi adanya lesi pada kulit memberikan respon kecemasan dan gangguan gambaran diri.
3.1.4 Pengkajian
Pengkajian keperawatan yang didapat biasanya sesuai dengan fase dari Herpes zoester, yang terdiri atas fase prodromal dan fase erupsi kulit.
A. Fase Prodromal
1. Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodromal yang berlangsung selama 1-4 hari.
2. Gejala yang memengaruhi tubuh: demam, sakit kepala, fatigue, malaise, nausea, kemerahan, nyeri, (rasa terbakar atau tertusuk), gatal dan kesemutan.
3. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul. Nyeri juga bias terjadi selama erupsi kulit.
4. Gejala yang mempengaruhi mata: berupa kemerahan, sensitive terhadap cahaya, pembengkakan kelopak mata, kekeringan mata, pandangan kabur, penurunan sensasi penglihatan, dan lain-lain.
B. Fase Erupsi Kulit
1. Kadang terjadi limfa denopati regional.
2. Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, yang tersering di daerah ganglion torakalis.
3. Lesi dimulai dengan macula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah menjadi pastul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta dapat bertahan 2-3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental juga menghilang.
4. Lesi baru dapat muncul sampai hari ke 4 dan kadang-kadang sampai hari ke-7.
5. Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan macula hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar)
6. Pada lansia biasanya mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitive terhadap nyeri yang dialami.
3.1.5 Pengkajian Diagnostik
Tujuan dari pengkajian diagnostic adalah dilakukan untuk membedakan dari Impetigo, kontakdermatitis, dan herpes simpleks. Pengkajian diagnostic yang bias dilakukan, meliputi hal-hal berikut ini.
1. Tzanck Smear : mengidentifikasi virus tetapi tidak dapat membedakan herpes zoester dan herpes simpleks.
2. Kultur dari cairan vesikel dan tesantibody : digunakan untuk membedakan diagnosis herves virus.
3. Immuno fluorocestent : mengidentifikasi varisella di sel kulit.
4. Pemeriksaan histopatologik.
5. Pemeriksaan mikroskop electron.
6. Kultur virus.
7. Identifikasi antigen/ asamnukleat VVZ.
8. Deteksi antibody terhadapinfeksi virus.
3.1.6 Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan tatalaksana herpes zoester adalah untuk meredakan rasa nyeri dapat mengurangi atau menghindari komplikasi. Rasa nyeri dikendalikan dengan pemberian analgesic karena pengendalian nyeri yang adekuat selama fase akut akan membantu mencegah terbentuknya pola nyeri yang persisten.
Bila saraf oftalmikus cabang dari saraf trigeminus terkena, maka harus dirujuk pada seorang dokter ahli penyakit mata karena dapat terjadi perforasi kornea akibat infeksi tersebut. Pemberian kortikosteroid sistemik dini dapat membantu mencegah timbulnya neuralgia post-herpetika. Asiklovir oral 800 mg 5 kali sehari selama 10 hari dapat mempersingkat lama infeksi herpes zoester.
3.1.7 Diagnosis keperawatan
1. Nyeri b.d respons inflamasi lokal sekunder dari keusakan saraf perifer kulit
2. Ketidakseimbangan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake nutrisi tidak adekuat, respons sekunder dari mual, muntah, dan anoreksia
3. Hipertermi b.d respons inflamasi sistemik
4. Gangguan gambaran diri b.d perubahan struktur kulit
5. Kebutuhan pemenuhan informasi b.d tidak adekuatnya sumber informasi ketidaktahuan program perawatan dan pengobatan
3.1.8 Rencana keperawatan
Ketidakseimbangan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake nutrisi tidak adekuat sekunder dari mual,muntah,anoreksia.
Tujuan: dalam waktu 3x 24 jam setelah diberikan asupan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria evaluasi:
• Pasien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat
• Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
• Tidak terjadi penurunan berat badan lebih dari ½ kg dalam 3 hari
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah, dan diare. Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat
Fasilitas pasien memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi) Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki memperbaiki asupan nutrisi.
Pantau intake dan output, timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu) Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan
Lakukan dan ajarkan perawatan mulut dan sesudah makan,serta sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan per oral Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan,sisa sputum atau obat untuk pengobatan sistem respirasi yang dapat merangsang pusat muntah
Fasilitas pemberian diet TKTP berikan dalam porsi kecil tapi sering. Memaksimalkan asupan nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.
Kolaborasi untuk pemberian multivitamin Multivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang tinggi respons sekunder dari peningkatan laju metabolisme umum.
Kebutuhan pemenuhan informasi b.d tidak adekuatnya sumber informasi, ketidaktahuan program perawatan dan pengobatan
Tujuan : terpenuhinya pengetahuan pasien tentang kondisi penyakit
Kriteria evaluasi :
• Mengungkapkan pengertian tentang proses infeksi, tindakan yang dibutuhkan dengan kemungkinan komplikasi
• Mengenal perubahan gaya hidup / tingkah laku untuk mencegah terjadinya komplikasi
Intervensi Rasional
Beritahukan pasien / orang terdekat mengenai dosis,aturan, dan efek pengobatan, diet yang dianjurkan serta pembatasan aktivitas yang dapat dilakukan. Informasi dibutuhkan untuk meningkatkan perawatan diri, untuk menambah kejelasan efektivitas pengobatan dan mencegah komplikasi
Jelaskan tentang pentingnya pengobatan antivirus Pemberian antivirus dirumah dibutuhkan untuk mengurangi invasi virus pada kulit
Meningkatkan cara hidup sehat seperti intake makanan yang baik keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, monitor status kesehatan dan adanya infeksi Meningkatkan sistem imun dan pertahanan terhadap infeksi.
Beritahu pasien bahwa mereka dapat menulari orang lain Dengan mengetahui kondisi ini, maka perlu diperhatikan tindakan higienis rutin sepeti pemakaian alat pribadi.
Identifikasi sumber- sumber pendukung yang memungkinkan untuk mempertahankan perawatan dirumah yang dibutuhkan Keterbatasan aktivitas dapat dapat mengganggu kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Ajarkan cara menggunakan obat Pada stadium vesikel diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok khusus untuk kelamin bertujuan mencegah vesikel pecah. Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan NaCl 3 kali sehari selama 20 menit. Apabila lesi berkusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik (basitrasin/polysporin) untuk mencegah infeksi sekunder selama 3 kali sehari.
3.1.9 Evaluasi
1. Terjadi penurunan respons nyeri
2. Asupan nutrisi terpenuhi
3. Terjadi penurunan suhu tubuh dalam batas normal
4. Peningkatan gambaran diri ( citra diri )
5. Terpenuhnya informasi kesehatan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan, melindungi, dan menginformasikan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir).
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Luas kulit pada manusia rata-rata 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak atau beratnya sekitar 16 % dari berat badan seseorang.
Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari.
4.2. Saran
Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa terutama bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Baik J.S.,Kim W.C.,Heo J.H,.dan Zheng H.Y.”Recurrent Herpes Zoester Myelitis”.J Korean Med Sci.12 (4):36-3/Agustus 1997.
Centers For Disease Control and Prevention (CDC). “ Advisory Committee on Immunization Practices ( ACIP ). Update: Recommendations from The Advisory on Committee on Immunization Practies ( ACIP ) regarding administration of Combination MMRV Vaccine “. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.57(10):258-60/14 Mar 2008.
Gohen J.I.” Varicella-zoester Virus. The virus” Infect Dis Clin North Am. 10(3):457-68/September 1996.
Galil K., Choo P.W.,Donahue J.G., dan Platt R.” The Sequelae of Harpes Zoester.” Arch Intern Med.157 (11):1209-13/9 jun 1997.
Liang M.G., Heidelberg K.A., Jacobson R.M., dan McEvoy M.T.” Herpes Zoester after Varicella Immunization”.J AM Acad Dermatol. 38(5 Pt I ) : 761-3/Mei 1998.
Morgan R dan King D.” Characteristic of Patiens With Shingles Admitted to a District General Hospital”. Poatgrad Med J.74 (868):101-3/Februari 1998.
Translate
Rabu, 26 September 2012
ASKEP KERACUNAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keracunan dapat terjadi karena banyak hal, salah satunya disebabkan oleh bahan kimia. Banyak bahan kimia yang dilarang, ditambahkan ke dalam makanan akan menyebabkan keracunan (Yuliarti, 2007). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.1168 tahun 1999 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722 tahun 1988, ada beberapa bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan antara lain Asam borat, formalin, dietilpirokarbonat, kalium klorat (Menteri Kesehatan, 1999). Hasil uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pada tahun 2005 terhadap makanan jajanan anak yang dijual di sekolah dasar di 18 propinsi, menunjukkan adanya kandungan bahan kimia yang berbahaya di dalam sejumlah jajanan anak yaitu: boraks, formalin dalam jajanan berupa kue, gorengan, bakso, kerupuk, tahu dan mi (Rachmawati, 2006). Formalin juga ditemukan dalam ikan asin dan ebi (Pane, 2008).
Tujuan penambahan formalin pada makanan adalah sebagai pengawet sekaligus sebagai pengenyal pada mi basah dan bakso. Penyalahgunaan formalin pada makanan ini selain disebabkan harganya yang sangat murah dan mudah didapatkan, juga disebabkan karena minimnya pengetahuan produsen tentang bahaya penggunaan formalin pada makanan. Keracunan formalin dapat menyebabkan ganggua n pada pencernaan, iritasi lambung, alergi dan formalin juga bersifat karsinogenik (Yuliarti, 2007). Menurut International Programme on Chemical Safety (IPCS) formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari (Anonima, 2006). Bila terhirup akan segera diabsorpsi ke paru - paru dan menyebabkan paparan akut berupa pusing kepala, rhinitis , rasa terbakar dan lakrimasi (Widyaningsih & Murtini, 2006). Keracunan formalin dapat terjadi melalui makanan, salah satunya adalah bakso sebagai jajanan anak- anak sekolah dasar. Ketertarikan anak - anak sekolah dasar membeli bakso dikarenakan harganya yang murah dan rasanya yang enak, sehingga anak -anak sekolah dasar menyukai makanan ini.
1.2. Tujuan
- Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan gawat darurat.
- Untuk mengetahui pengertian, macam-macam, tanda dan gejala keracunan.
- Untuk mengetahui penaganan gawat darurat pada kasus keracunan.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terisap, diabsorbsi, menempel pada kulit atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil menyebabkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia.
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Keracunan melalui inhalasi dan menelan materi toksik, baik kecelakaan dan karena kesengajaan, merupakan kondisi bahaya kesehatan. Sekitar 7% dari semua pengunjung departemen kedaruratan dating karena masalah toksik.
2.2. Macam-macam Keracunan
1. Mencerna (menelan) racun
Tindakan yang dilakukan adalah menghilangkan atau menginaktifkan racun sebelum diabsorbsi, untuk memberikan perawatan pendukung, untuk memelihara system organ vital, menggunakan antidote spesifik untuk menetralkan racun, dan memberikan tindakan untuk mempercepat eliminasi racun terabsorbsi.
Penatalaksanaan umum :
a. Dapatkan control jalan panas, ventilasi, dan oksigensi. Pada keadaan tidak ada kerusakan serebral atau ginjal, prognosis pasien bergantung pada keberhasilan penatalaksanaan pernapasan dan sisitem sirkulasi.
b. Coba untuk menentukan zat yang merupakan racun, jumlah, kapan waktu tertelan, gejala, usia, berat pasien dan riwayat kesehatan yang tepat.
c. Tangani syok yang tepat.
d. Hilangkan atau kurangi absorbsi racun.
e. Berikan terapi spesifik atau antagonis fisiologik secepat mungkin untuk menurunkan efek toksin.
f. Dukung pasien yang mengalami kejang. Racun mungkin memicu system saraf pusat atau pasien mungkin mengalami kejang karena oksigen tidak adekuat.
g. Bantu dalam menjalankan prosedur untuk mendukung penghilangan zat yang ditela, yaitu:
Diuresis untuk agens yang dikeluarkan lewat jalur ginjal.
Dialisis
Hemoperfusi (proses melewatkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal dan cartridge containing an adsorbent [karbon atau resin], dimana setelah detoksifikasi darah dikembalikan ke pasien.
h. Pantau tekanan vena sentral sesuai indikasi.
i. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
j. Menurunkan peningkatan suhu.
k. Berikan analgesic yang sesuai untuk nyeri.
l. Bantu mendapatkan specimen darah, urine, isi lambung dan muntah.
m. Berikan perawatan yang konstan dan perhatian pada pasien koma.
n. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensi, disritmia jantung dan kejang.
o. Jika pasien dipulangkan, berikan bahan tertulis yang menunjukan tanda dan gejala masalah potensial dan prosedur untuk bantuan ulang.
Minta konsultasi dokter jiwa jika kondisi tersebut karena usaha bunuh diri
Pada kasus keracunan pencernaan yang tidak disengaja berikan pencegahan racun dan instruksi pembersihan racun rumah pada pasien atau keluarga.
2. Keracunan melalui inhalasi
Penatalaksanaan umum :
a. Bawa pasien ke udara segar dengan segera; buka semua pintu dan jendela.
b. Longgarkan semua pakaian ketat.
c. Mulai resusitasi kardiopulmonal jika diperlikan.
d. Cegah menggigil; bungkus pasien dengan selimut.
e. Pertahankan pesien setenang mungkin.
f. Jangan berikan alcohol dalam bentuk apapun.
3. Keracunan makanan
Keracunan makanan adalah penyakit yang tiba-tiba dan mengejutkan yang dapat terjadi setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Pertolongan Pertama Pada Keracunan Makanan:
1. Untuk mengurangi kekuatan racun, berikan air putih sebanyak-banyaknya atau diberi susu yang telah dicampur dengan telur mentah.
2. Agar perut terbebas dari racun, berikan norit dengan dosis 3-4 tablet selama 3 kali berturut-turut dalam setia jamnya.
3. Air santan kental dan air kelapa hijau yang dicampur 1 sendok makan garam dapat menjadi alternative jika norit tidak tersedia.
4. Jika penderita dalam kondisi sadar, usahakan agar muntah. Lakukan dengan cara memasukan jari pada kerongkongan leher dan posisi badan lebih tinggi dari kepala untuk memudahkan kontraksi.
5. Apabila penderita dalam keadaan p[ingsan, bawa egera ke rumah sakit atau dokter terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.
4. Gigitan ular
Bisa (racun) ular terdiri dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Sisitem multiorgan, terutama neurologic, kardiovaskuler, sisitem pernapasan mungkin terpengaruh.
Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi mengistirahatkan korban, melepaskan benda yang mengikat seperti cincin, memberikan kehangatan, membersihkan luka, menutup luka dengan balutan steril, dan imobilisasi bagian tubuh dibawah tinggi jantung. Es atau torniket tidak digunakan. Evaluasi awal di departemen kedaruratn dilakukan dengan cepat meliputi :
• Menentukan apakah ular berbisa atau tidak.
• Menentukan dimana dan kapan gigitan terjadi sekitar gigitan.
• Menetapkan urutan kejadian, tanda dan gejala (bekas gigi, nyeri, edema, dan eritema jaringan yang digigit dan didekatnya).
• Menentukan keparahan dampak keracunan.
• Memantau tanda vital.
• Mengukur dan mencatat lingkar ekstremitas sekitar gigitan atau area pada beberapa titik.
• Dapatkan data laboratorium yang tepat (mis. HDL, urinalisi, dan pemeriksaan pembekuan).
5. Sengatan serangga
Manifestasi klinis bervariasi dari urtikaria umum, gatal, malaise, ansietas, sampai edema laring, bronkhospasme berat, syok dan kematian. Umumnya waktu yang lebih pendek diantara sengatan dan kejadian dari gejala yang berat merupakan prognosis yang paling buruk.
Penatalaksanaan umum:
Berikan epineprin (cair) secara langsung. Masase daerah tersebut untuk mempercepat absorbsi.
Jika sengatan pada ekstermitas, berikan tornikuet dengan tekanan yang tepat untuk membendung aliran vena dan limfatik.
Instruksikan pasien untuk hal-hal berikut:
- Injeksi segera dengan epineprin
- Buang penyengat dengan garukan cepat kuku jari
- Bersihkan area dengan sabun air dan tempelkan es
- Pasang tornikuet proksimal terhadap sengatan
- Laporkan pada fasilitas perawatan kesehatan terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut.
2.3. Gambaran Klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktifitas kelenjar ludah, keringat dan gangguan saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor pada lidah, kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, bradikardi.
Keracunan berat : diare, reaksi cahaya negatif, sesak nafas, sianosis, edema paru, inkontenesia urine dan feces, koma
2.4. Penatalaksanaan
1. Resusitasi.
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan,periksa pernafasan dan nadi.Infus dextrose 5 % kec. 15- 20 tts/menit .,nafas buatan,oksigen,hisap lendir dalam saluran pernafasan,hindari obat-obatan depresan saluran nafas,kalu perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mlut penolong.Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi.
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemeberian sirup ipecac 15 - 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil. Katarsis, ( intestinal lavage ), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan besar. Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis,katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4 – 6 jam . pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.
3. Anti dotum (penawar racun)
Atropin sulfat ( SA ) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menitsamapi timbulk gejala-gejala atropinisasi ( muka merah,mulut kering,takikardi,midriasis,febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelaj 2 x 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.
2.5. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian.
Pengkajian difokusakan padfa masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status jantung,status kesadran.
Riwayat kesadaran : riwayat keracunan,bahan racun yang digunakan,berapa lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.
b. Intervensi.
• Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun ( antidotum ) yan meliputi resusitasi, : Air way, breathing, circulasi eliminasi untuk menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung,emesis, ata katarsis dan kerammas rambut.
• Berikan anti dotum sesuai advis dokter minimal 2 x 24 jam yaitu pemberian SA.
• Perawatan suportif; meliputi mempertahankan agar pasien tidak samapi demamatau mengigil,monitor perubahan-perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,distress pernafasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda-tanda lain kolaps pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian.Monitir vital sign setiap 15 menit untuk bebrapa jam dan laporkan perubahan segera kepada dokter.Catat tanda-tanda seperti muntah, mual, dan nyeri abdomen serta monotor semua muntah akan adanya darah. Observasi fese dan urine serta pertahankan cairan intravenous sesuai pesanan dokter.
• Jika pernafasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bisa diperlukan.
• Jika keracunan sebagai uasaha untuk mebunuh diri maka lakukan safety precautions . Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatri klinis. Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis neurosis, mental retardasi dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Pengertian
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Keracunan melalui inhalasi dan menelan materi toksik, baik kecelakaan dan karena kesengajaan, merupakan kondisi bahaya kesehatan. Sekitar 7% dari semua pengunjung departemen kedaruratan dating karena masalah toksik.
b. Gambaran Klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktifitas kelenjar ludah, keringat dan gangguan saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor pada lidah, kelopak mata, pupil miosis
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, bradikardi.
Keracunan berat : diare, reaksi cahaya negatif, sesak nafas, sianosis, edema paru, inkontenesia urine dan feces, koma.
c. Intervensi
• Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum) yang meliputi resusitasi : Air way, breathing, circulasi eliminasi untuk menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung, emesis, ata katarsis dan kerammas rambut.
3.2. Saran
Harapan pembuatan makalah ini bisa dijadikan bahan pembelajaran selanjutnya dan bisa bermanfaat bagi pembuat dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
Brunner and Suddarth.2002.Keperawatan Medikal Bedah.vol.3.Jakarta:EGC
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keracunan dapat terjadi karena banyak hal, salah satunya disebabkan oleh bahan kimia. Banyak bahan kimia yang dilarang, ditambahkan ke dalam makanan akan menyebabkan keracunan (Yuliarti, 2007). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.1168 tahun 1999 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722 tahun 1988, ada beberapa bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan antara lain Asam borat, formalin, dietilpirokarbonat, kalium klorat (Menteri Kesehatan, 1999). Hasil uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pada tahun 2005 terhadap makanan jajanan anak yang dijual di sekolah dasar di 18 propinsi, menunjukkan adanya kandungan bahan kimia yang berbahaya di dalam sejumlah jajanan anak yaitu: boraks, formalin dalam jajanan berupa kue, gorengan, bakso, kerupuk, tahu dan mi (Rachmawati, 2006). Formalin juga ditemukan dalam ikan asin dan ebi (Pane, 2008).
Tujuan penambahan formalin pada makanan adalah sebagai pengawet sekaligus sebagai pengenyal pada mi basah dan bakso. Penyalahgunaan formalin pada makanan ini selain disebabkan harganya yang sangat murah dan mudah didapatkan, juga disebabkan karena minimnya pengetahuan produsen tentang bahaya penggunaan formalin pada makanan. Keracunan formalin dapat menyebabkan ganggua n pada pencernaan, iritasi lambung, alergi dan formalin juga bersifat karsinogenik (Yuliarti, 2007). Menurut International Programme on Chemical Safety (IPCS) formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari (Anonima, 2006). Bila terhirup akan segera diabsorpsi ke paru - paru dan menyebabkan paparan akut berupa pusing kepala, rhinitis , rasa terbakar dan lakrimasi (Widyaningsih & Murtini, 2006). Keracunan formalin dapat terjadi melalui makanan, salah satunya adalah bakso sebagai jajanan anak- anak sekolah dasar. Ketertarikan anak - anak sekolah dasar membeli bakso dikarenakan harganya yang murah dan rasanya yang enak, sehingga anak -anak sekolah dasar menyukai makanan ini.
1.2. Tujuan
- Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan gawat darurat.
- Untuk mengetahui pengertian, macam-macam, tanda dan gejala keracunan.
- Untuk mengetahui penaganan gawat darurat pada kasus keracunan.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terisap, diabsorbsi, menempel pada kulit atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil menyebabkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia.
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Keracunan melalui inhalasi dan menelan materi toksik, baik kecelakaan dan karena kesengajaan, merupakan kondisi bahaya kesehatan. Sekitar 7% dari semua pengunjung departemen kedaruratan dating karena masalah toksik.
2.2. Macam-macam Keracunan
1. Mencerna (menelan) racun
Tindakan yang dilakukan adalah menghilangkan atau menginaktifkan racun sebelum diabsorbsi, untuk memberikan perawatan pendukung, untuk memelihara system organ vital, menggunakan antidote spesifik untuk menetralkan racun, dan memberikan tindakan untuk mempercepat eliminasi racun terabsorbsi.
Penatalaksanaan umum :
a. Dapatkan control jalan panas, ventilasi, dan oksigensi. Pada keadaan tidak ada kerusakan serebral atau ginjal, prognosis pasien bergantung pada keberhasilan penatalaksanaan pernapasan dan sisitem sirkulasi.
b. Coba untuk menentukan zat yang merupakan racun, jumlah, kapan waktu tertelan, gejala, usia, berat pasien dan riwayat kesehatan yang tepat.
c. Tangani syok yang tepat.
d. Hilangkan atau kurangi absorbsi racun.
e. Berikan terapi spesifik atau antagonis fisiologik secepat mungkin untuk menurunkan efek toksin.
f. Dukung pasien yang mengalami kejang. Racun mungkin memicu system saraf pusat atau pasien mungkin mengalami kejang karena oksigen tidak adekuat.
g. Bantu dalam menjalankan prosedur untuk mendukung penghilangan zat yang ditela, yaitu:
Diuresis untuk agens yang dikeluarkan lewat jalur ginjal.
Dialisis
Hemoperfusi (proses melewatkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal dan cartridge containing an adsorbent [karbon atau resin], dimana setelah detoksifikasi darah dikembalikan ke pasien.
h. Pantau tekanan vena sentral sesuai indikasi.
i. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
j. Menurunkan peningkatan suhu.
k. Berikan analgesic yang sesuai untuk nyeri.
l. Bantu mendapatkan specimen darah, urine, isi lambung dan muntah.
m. Berikan perawatan yang konstan dan perhatian pada pasien koma.
n. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensi, disritmia jantung dan kejang.
o. Jika pasien dipulangkan, berikan bahan tertulis yang menunjukan tanda dan gejala masalah potensial dan prosedur untuk bantuan ulang.
Minta konsultasi dokter jiwa jika kondisi tersebut karena usaha bunuh diri
Pada kasus keracunan pencernaan yang tidak disengaja berikan pencegahan racun dan instruksi pembersihan racun rumah pada pasien atau keluarga.
2. Keracunan melalui inhalasi
Penatalaksanaan umum :
a. Bawa pasien ke udara segar dengan segera; buka semua pintu dan jendela.
b. Longgarkan semua pakaian ketat.
c. Mulai resusitasi kardiopulmonal jika diperlikan.
d. Cegah menggigil; bungkus pasien dengan selimut.
e. Pertahankan pesien setenang mungkin.
f. Jangan berikan alcohol dalam bentuk apapun.
3. Keracunan makanan
Keracunan makanan adalah penyakit yang tiba-tiba dan mengejutkan yang dapat terjadi setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Pertolongan Pertama Pada Keracunan Makanan:
1. Untuk mengurangi kekuatan racun, berikan air putih sebanyak-banyaknya atau diberi susu yang telah dicampur dengan telur mentah.
2. Agar perut terbebas dari racun, berikan norit dengan dosis 3-4 tablet selama 3 kali berturut-turut dalam setia jamnya.
3. Air santan kental dan air kelapa hijau yang dicampur 1 sendok makan garam dapat menjadi alternative jika norit tidak tersedia.
4. Jika penderita dalam kondisi sadar, usahakan agar muntah. Lakukan dengan cara memasukan jari pada kerongkongan leher dan posisi badan lebih tinggi dari kepala untuk memudahkan kontraksi.
5. Apabila penderita dalam keadaan p[ingsan, bawa egera ke rumah sakit atau dokter terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.
4. Gigitan ular
Bisa (racun) ular terdiri dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Sisitem multiorgan, terutama neurologic, kardiovaskuler, sisitem pernapasan mungkin terpengaruh.
Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi mengistirahatkan korban, melepaskan benda yang mengikat seperti cincin, memberikan kehangatan, membersihkan luka, menutup luka dengan balutan steril, dan imobilisasi bagian tubuh dibawah tinggi jantung. Es atau torniket tidak digunakan. Evaluasi awal di departemen kedaruratn dilakukan dengan cepat meliputi :
• Menentukan apakah ular berbisa atau tidak.
• Menentukan dimana dan kapan gigitan terjadi sekitar gigitan.
• Menetapkan urutan kejadian, tanda dan gejala (bekas gigi, nyeri, edema, dan eritema jaringan yang digigit dan didekatnya).
• Menentukan keparahan dampak keracunan.
• Memantau tanda vital.
• Mengukur dan mencatat lingkar ekstremitas sekitar gigitan atau area pada beberapa titik.
• Dapatkan data laboratorium yang tepat (mis. HDL, urinalisi, dan pemeriksaan pembekuan).
5. Sengatan serangga
Manifestasi klinis bervariasi dari urtikaria umum, gatal, malaise, ansietas, sampai edema laring, bronkhospasme berat, syok dan kematian. Umumnya waktu yang lebih pendek diantara sengatan dan kejadian dari gejala yang berat merupakan prognosis yang paling buruk.
Penatalaksanaan umum:
Berikan epineprin (cair) secara langsung. Masase daerah tersebut untuk mempercepat absorbsi.
Jika sengatan pada ekstermitas, berikan tornikuet dengan tekanan yang tepat untuk membendung aliran vena dan limfatik.
Instruksikan pasien untuk hal-hal berikut:
- Injeksi segera dengan epineprin
- Buang penyengat dengan garukan cepat kuku jari
- Bersihkan area dengan sabun air dan tempelkan es
- Pasang tornikuet proksimal terhadap sengatan
- Laporkan pada fasilitas perawatan kesehatan terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut.
2.3. Gambaran Klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktifitas kelenjar ludah, keringat dan gangguan saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor pada lidah, kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, bradikardi.
Keracunan berat : diare, reaksi cahaya negatif, sesak nafas, sianosis, edema paru, inkontenesia urine dan feces, koma
2.4. Penatalaksanaan
1. Resusitasi.
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan,periksa pernafasan dan nadi.Infus dextrose 5 % kec. 15- 20 tts/menit .,nafas buatan,oksigen,hisap lendir dalam saluran pernafasan,hindari obat-obatan depresan saluran nafas,kalu perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mlut penolong.Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi.
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemeberian sirup ipecac 15 - 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil. Katarsis, ( intestinal lavage ), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan besar. Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis,katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4 – 6 jam . pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.
3. Anti dotum (penawar racun)
Atropin sulfat ( SA ) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menitsamapi timbulk gejala-gejala atropinisasi ( muka merah,mulut kering,takikardi,midriasis,febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelaj 2 x 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.
2.5. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian.
Pengkajian difokusakan padfa masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status jantung,status kesadran.
Riwayat kesadaran : riwayat keracunan,bahan racun yang digunakan,berapa lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.
b. Intervensi.
• Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun ( antidotum ) yan meliputi resusitasi, : Air way, breathing, circulasi eliminasi untuk menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung,emesis, ata katarsis dan kerammas rambut.
• Berikan anti dotum sesuai advis dokter minimal 2 x 24 jam yaitu pemberian SA.
• Perawatan suportif; meliputi mempertahankan agar pasien tidak samapi demamatau mengigil,monitor perubahan-perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,distress pernafasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda-tanda lain kolaps pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian.Monitir vital sign setiap 15 menit untuk bebrapa jam dan laporkan perubahan segera kepada dokter.Catat tanda-tanda seperti muntah, mual, dan nyeri abdomen serta monotor semua muntah akan adanya darah. Observasi fese dan urine serta pertahankan cairan intravenous sesuai pesanan dokter.
• Jika pernafasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bisa diperlukan.
• Jika keracunan sebagai uasaha untuk mebunuh diri maka lakukan safety precautions . Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatri klinis. Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis neurosis, mental retardasi dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Pengertian
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Keracunan melalui inhalasi dan menelan materi toksik, baik kecelakaan dan karena kesengajaan, merupakan kondisi bahaya kesehatan. Sekitar 7% dari semua pengunjung departemen kedaruratan dating karena masalah toksik.
b. Gambaran Klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktifitas kelenjar ludah, keringat dan gangguan saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor pada lidah, kelopak mata, pupil miosis
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, bradikardi.
Keracunan berat : diare, reaksi cahaya negatif, sesak nafas, sianosis, edema paru, inkontenesia urine dan feces, koma.
c. Intervensi
• Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum) yang meliputi resusitasi : Air way, breathing, circulasi eliminasi untuk menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung, emesis, ata katarsis dan kerammas rambut.
3.2. Saran
Harapan pembuatan makalah ini bisa dijadikan bahan pembelajaran selanjutnya dan bisa bermanfaat bagi pembuat dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
Brunner and Suddarth.2002.Keperawatan Medikal Bedah.vol.3.Jakarta:EGC
Selasa, 18 September 2012
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DIABETES MELITUS
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DIABETES MELITUS
A.
Konsep
Dasar Penyakit
1.
Definisi
Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis
terjadi defisiensi insulin atau retensi insulin, di tandai dengan tingginya
keadaan glukosa darah (hiperglikemia) dan glukosa dalam urine (glukosuria) atau
merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehubungan dengan kurangnya
sekresi insulin secara absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi
insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Mansjoer, 2000).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Mansjoer, 2000).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok
kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus merupakan penyakit
sistemis, kronis, dan multifaktorial yang dicirikan dengan hiperglikemia dan
hipoglikemia. ( Mary,2009)
2.
Epidemiologi
Diabetes terutama prevalen
diantara kaum lanjut usia. Diantara individu yang berusia lebih dari 65 tahun,
8,6% menderita diabetes tipe II. Angka ini mencakup 15% populasi pada panti
lansia.
3.
Etiologi
Pada lansia cenderung
terjadi peningkatan berat badan, bukan karena mengkonsumsi kalori berlebih
namun karena perubahan rasio lemak-otot dan penurunan laju metabolisme basal.
Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya diabetes mellitus.
Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum dapat digolongkan ke dalam
dua besar:
·
Proses menua/kemunduran
(Penurunan
sensitifitas indra pengecap, penurunan fungsi pankreas, dan penurunan kualitas
insulin sehingga insulin tidak berfungsi dengan baik).
·
Gaya hidup(life style) yang jelek (banyak
makan, jarang olahraga, minum alkohol, dll.)
Keberadaan penyakit lain, sering
menderita stress juga dapat menjadi penyebab terjadinya diabetes mellitus.
Selain itu
perubahan fungsi fisik yang menyebabkan keletihan dapat menutupi tanda dan
gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk mencari bantuan medis. Keletihan,
perlu bangun pada malam hari untuk buang air kecil, dan infeksi yang sering
merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak diperhatikan oleh lansia dan
anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa hal tersebut adalah bagian dari
proses penuaan itu sendiri.
4.
Klasifikasi
·
Diabetes melitus tipe I:
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:
·
Mudah terjadi ketoasidosis
·
Pengobatan harus dengan insulin
·
Onset akut
·
Biasanya kurus
·
Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
·
Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
·
Didapatkan antibodi sel islet
·
10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
·
Diabetes melitus tipe II:
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Karakteristik DM tipe II:
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Karakteristik DM tipe II:
·
Sukar terjadi ketoasidosis
·
Pengobatan tidak harus dengan insulin
·
Onset lambat
·
Gemuk atau tidak gemuk
·
Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun
·
Tidak berhubungan dengan HLA
·
Tidak ada antibodi sel islet
·
30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
·
± 100% kembar identik terkena
5.
Manifestasi
Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti
poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia umumnya tidak ada. Osmotik diuresis
akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat
muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia
urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka
tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia
atau baru terjadi pada stadium lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien
adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan
saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan
patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari
kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang
sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan
pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai
yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala
akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
a. Katarak
b. Glaukoma
c. Retinopati
d. Gatal
seluruh badan
e. Pruritus
Vulvae
f. Infeksi
bakteri kulit
g. Infeksi
jamur di kulit
h. Dermatopati
i.
Neuropati perifer
j.
Neuropati viseral
k. Amiotropi
l.
Ulkus Neurotropik
m. Penyakit
ginjal
n. Penyakit
pembuluh darah perifer
o. Penyakit
koroner
p. Penyakit
pembuluh darah otak
q. Hipertensi
6.
Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin
memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan
sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh
sel beta di pankreas. Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel
dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa
di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes
melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien
diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk
kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas
limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu
sendiri.
Pada diabetes
melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat
pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit
dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.
7.
Pathway
8.
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes
mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah
dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah
normal.
Ada
5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
a.
Diet
Suatu
perencanaan makanan yang terdiri dari 10% lemak, 15% Protein, 75% Karbohidrat
kompleks direkomendasikan untuk mencegah diabetes. Kandungan rendah lemak dalam
diet ini tidak hanya mencegah arterosklerosis, tetapi juga meningkatkan
aktivitas reseptor insulin.
b.
Latihan
Latihan
juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes. Pemeriksaan sebelum latihan
sebaiknya dilakukan untuk memastikan bahwa klien lansia secara fisik mampu
mengikuti program latihan kebugaran. Pengkajian pada tingkat aktivitas klien
yang terbaru dan pilihan gaya hidup dapat membantu menentukan jenis latihan
yang mungkin paling berhasil. Berjalan atau berenang, dua aktivitas dengan
dampak rendah, merupakan permulaan yang sangat baik untuk para pemula. Untuk
lansia dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi
fisiologis dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan stamina dan
kesejahteraan emosional, dan meningkatkan sirkulasi, serta membantu menurunkan
berat badan.
c.
Pemantauan
Pada
pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah harus selalu diperiksa secara
rutin. Selain itu, perubahan berat badan lansia juga harus dipantau untuk
mengetahui terjadinya obesitas yang dapat meningkatkan resiko DM pada lansia.
d.
Terapi (jika
diperlukan)
Sulfoniluria
adalah kelompok obat yang paling sering diresepkan dan efektif hanya untuk
penanganan NIDDM. Pemberian insulin juga dapat dilakukan untuk mepertahankan
kadar glukosa darah dalam parameter yang
telah ditentukan untuk membatasi komplikasi penyakit yang membahayakan.
e.
Pendidikan
·
Diet yang harus
dikomsumsi
·
Latihan
·
Penggunaan insulin
9.
Pemeriksaan
Diagnostik
·
Glukosa darah sewaktu
·
Kadar glukosa darah
puasa
·
Tes toleransi glukosa
Kriteria
diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
-
Glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dl (11,1 mmol/L)
-
Glukosa plasma puasa
>140 mg/dl (7,8 mmol/L)
-
Glukosa plasma dari
sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2
jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
10.
Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi diabetes mellitus
diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang termasuk dalam komplikasi akut
adalah hipoglikemia, diabetes ketoasidosis (DKA), dan hyperglycemic hyperosmolar nonketocic coma (HHNC). Yang termasuk
dalam komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic,
neuropati, dislipidemia, dan hipertensi.
·
Komplikasi akut
a.
Diabetes
ketoasidosis
Diabetes
ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat pada
jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat
sensitive terhadap kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh infeksi (
penyakit)
· Komplikasi kronis:
a.
Retinopati
diabetic
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada
pembuluh retina. Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya
aliran darah retina. Respon terhadap iskemik retina ini adalah pembentukan
pembuluh darah baru, tetapi pembuluh darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah
pecah dan dapat mengakibatkan perdarahan vitreous. Perdarahan ini bisa
mengakibatkan ablasio retina atau berulang yang mengakibatkan kebutaan
permanen.
b.
Nefropati
diabetic
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah
glomerulosklerosis yang nodular yang tersebar dikedua ginjal yang disebut
sindrom Kommelstiel-Wilson. Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan
proteinuria, edema dan hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan
hanya pada DM.
c.
Neuropati
Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM.
neuropati diabetic yang paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan
autonomic.
d.
Displidemia
Lima puluh persen individu dengan DM mengalami
dislipidemia.
e.
Hipertensi
Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan
penyakit ginjal, mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe
2, hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat
mungkin diketahuin dan ditangani karena bisa memperberat retinopati, nepropati,
dan penyakit makrovaskular.
f.
Kaki diabetic
Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic
yaitu neuropati, iskemia, dan sepsis. Biasanya amputasi harus dilakukan.
Hilanggnya sensori pada kaki mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus.
Perubahan mikrovaskuler dan makrovaskuler dapat mengakibatkan iskemia jaringan
dan sepsis. Neuropati, iskemia, dan sepsis bisa menyebabkan gangrene dan
amputasi.
g.
Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah
di bawah 60 mg/dl, yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat
hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia pada pasien sedang menerima pengobatan
insulin eksogen atau hipoglikemik oral.
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
a. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Adakah
keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
b. Riwayat
Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana
penanganannya, mendapat terapi insulin jenis
apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
c.
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram
otot, tonus otot menurun.
d. Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi,
kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama,
takikardi, perubahan tekanan darah
e. Integritas
Ego
Stress,
ansietas
f. Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria,
nokturia, anuria ), diare
g. Makanan
/ Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet,
penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
h. Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas
kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan.
i. Nyeri
/ Kenyamanan
Abdomen
tegang, nyeri (sedang / berat)
j. Pernapasan
Batuk
dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
k. Keamanan
Kulit
kering, gatal, ulkus kulit.
2.
Diagnosa
Keperawatan
a.
Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme protein, lemak.
b. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan osmotik
diuresis ditandai dengan tugor kulit menurun dan membran mukasa kering.
c.
Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer)
ditandai dengan gangren pada extremitas.
d.
Kelelahan berhubungan
dengan kondisi fisik yang kurang.
e.
Risiko
tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
f. Resiko
terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.
3.
Perencanaan
Keperawatan
a.
Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme protein, lemak.
Tujuan : Setelah
diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat
terpenuhi.
Dengan Kriteria Hasil :
§ Pasien
dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
§ Berat
badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Tindakan / intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1.
Timbang
berat badan sesuai indikasi.
|
Mengkaji
pemasukan makanan yang adekuat.
|
2.
Tentukan
program diet, pola makan, dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan
klien.
|
Mengidentifikasikan
kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
|
3.
Auskultrasi
bising usus, catat nyeri abdomen atau perut kembung, mual, muntah dan
pertahankan keadaan puasa sesuai inndikasi.
|
Hiperglikemi,
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menurunkan motilitas atau fungsi
lambung (distensi atau ileus paralitik).
|
4.
Berikan makanan cair yang mengandung nutrisi
dan elektrolit. Selanjutnya memberikan makanan yang lebih padat.
|
Pemberian
makanan melalui oral lebih baik diberikan pada klien sadar dan fungsi
gastrointestinal baik.
|
5.
Identifikasi
makanan yang disukai.
|
Kerja
sama dalam perencanaan makanan.
|
6.
Libatkan
keluarga dalam perencanaan makan.
|
Meningkatkan
rasa keterlibatannya, memberi informasi pada keluarga untuk memahami
kebutuhan nutrisi klien.
|
7.
Observasi
tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembap atau dingin,
denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing).
|
Pada
metabolism kaborhidrat (gula darah akan berkurang dan sementara tetap
diberikan tetap diberikan insulin, maka terjadi hipoglikemia terjadi tanpa
memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.
|
Kolaborasi
|
|
8.
Lakukan
pemeriksaan gula darah dengan finger
stick.
|
Analisa
di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat daripada memantau gula dalam
urine.
|
9.
Pantau
pemeriksaan laboratorium (glukosa darah, aseton, pH, HCO3)
|
Gula
darah menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi insulin terkontrol
sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori.
Saat ini, kadaar aseton menurun dan asidosis dapat dikoreksi.
|
10. Berikan pengobatan insulin secara teratur melalui iv
|
Insulin
regular memiliki awitan cepat dan dengan cepat pula membantu memindahkan
glukosa ke dalam sel. Pemberian melalui IV karena absorpsi dari jaringan
subkutan sangat lambat.
|
11. Berikan larutan glukosa ( destroksa, setengah salin
normal).
|
Larutan
glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa gula darah sekitar 250
mg /dl. Dengan metabolism karbohidrat mendekati normal, perawatan diberikan
untuk menghindari hipoglikemia.
|
12. Konsultasi dengan ahli gizi.
|
Bermanfaat
dalam penghitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
|
b. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan osmotik
diuresis ditandai dengan tugor kulit menurun dan membran mukosa kering.
Tujuan : Setelah
diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan atau hidrasi pasien
terpenuhi
Dengan kriteria Hasil :
§ Pasien
menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer
dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat
secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Tindakan
/ Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1.
Kaji
riwayat klien sehubungan dengan lamanya atau intensitas dari gejala seperti
muntah dan pengeluaran urine yang berlebihan.
|
Membantu
memperkirakan kekurangan volume total. Adanya proses infeksi mengakibatkan
demam dan keadaan hipermetabolik yang meningkatkan kehilangan air.
|
2.
Pantau
tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortostatik.
|
Hipovolemi
dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat ringannya
hipovolemi saat tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dari posisi berbaring
ke duduk atau berdiri.
|
3.
Pantau
pola napas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang berbau
keton.
|
Perlu
mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi
alkalosis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. Napas bau aseton
disebabkan pemecahan asam asetoasetat dan harus berkurang bila ketosis
terkoreksi.
|
4.
Pantau
frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, adanya
periode apnea dan sianosi.
|
Hiperglikemia
dan asidosis menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan normal. Akan tetapi
peningkatan kerja pernapasan, pernapasan dangkal dan cepat serta sianosis
merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan atau kehilangan kemampuan
melalui kompensasi pada asidosis.`
|
5.
Pantau
suhu, warna kulit, atau kelembapannya.
|
Demam,
menggigil, dan diaphoresis adalah hal umum terjadi pada proses infeksi, demam
dengan kulit kemerahan, kering merupakan tanda dehidrasi.
|
6.
Kaji nadi
perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
|
Merupakan
indicator tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.
|
7.
Pantau
masukan dan pengeluaran.
|
Memperkirakan
kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan terapi yang
diberikan.
|
8.
Ukur
berat badan setiap hari.
|
Memberikan
hasil pengkajian terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan
selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
|
9.
Pertahankan
pemberian cairan minimal 2500 ml/hari.
|
Mempertahankan
hidrasi atau volume sirkulasi.
|
10. Tingkatkan lingkungan yang menimbulkan rasa nyaman.
Selimuti klien dengan kain yang tipis.
|
Menghindari
pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut dapat menimbulkan
kehilangan cairan.
|
11. Kaji adanya perubahan mental atau sensori.
|
Perubahan
mental berhubungan dengan hiperglikemi atau hipoglikemi, elektrolit abnormal,
asidosis, penurunan perfusi serebral, dan hipoksia. Penyebab yang tidak
tertangani, gangguan kesadaran menjadi predisposisi aspirasi pada klien.
|
12. Observasi mual, nyeri abdomen, muntah, dan distensi
lambung.
|
Kekurangan
cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung sehinnga sering menimbulkan
muntah dan secara potensial menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit.
|
13. Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat,
edema, peningkatan berat badan, nadi tidak teratur, dan distensi vaskuler.
|
Pemberian
cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan kelebihan cairan dan
gagal jantung kronis.
|
Kolaborasi
|
|
14. Berikan terapi cairan sesuai indikasi:
11.
Normal
salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa.
12.
Albumin,
plasma, atau dekstran.
|
Tipe dan
jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon klien
secara individual.
Plasma
ekspander (pengganti) dibutuhkan jika mengancam jiwa atau tekanan darah sudah
tidak dapat kembali normal dengan usaha rehidrasi yang telah dilakukan.
|
15. Pasang kateter urine.
|
Memberikan
pengukuran yang tepat terhadap pengeluaran urine terutama jika neuropati
otonom menimbulkan retensi atau inkontinensia.
|
c.
Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer)
ditandai dengan gangren pada extremitas.
Tujuan : Setelah
diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidakterjadi komplikasi.
Dengan Kriteria Hasil :
- menunjukan peningkatan integritas kulit
· Menghindari
cidera kulit
Tindakan / intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1.
Inspeksi kulit
terhadap perubahan warna,turgor,vaskuler,perhatikan kemerahan.
|
Menandakan aliran sirkulasi
buruk yang dapat menimbulkan infeksi
|
2. Ubah
posisi setiap 2 jam beri bantalan pada tonjolan tulang
|
Menurunkan tekanan
pada edema dan menurunkan iskemia
|
3. Pertahankan
alas kering dan bebas lipatan
|
Menurunkan iritasi
dermal
|
4. Beri
perawatan kulit seperti penggunaan
lotion
|
Menghilangkan
kekeringan pada kulit dan robekan pada kulit
|
5. Lakukan
perawatan luka dengan teknik aseptik
|
Mencegah terjadinya
infeksi
|
6. Anjurkan
pasien untuk menjaga agar kuku tetap pendek
|
Menurunkan resiko
cedera pada kulit oleh karena garukan
|
7. Motivasi
klien untuk makan makanan TKTP
|
Makanan TKTP dapat
membantu penyembuhan jaringan kulit
yang rusak
|
d.
Kelelahan berhubungan
dengan kondisi fisik yang kurang.
Tujuan : setelah
diberikan asuhan keperawatan diharapkan kelelahan dapat teratasi.
Kriteria hasil klien
dapat:
·
Mengidentifikasikan
pola keletihan setiap hari.
·
Mengidentifikasi tanda
dan gejala peningkatan aktivitas penyakit yang mempengaruhi toleransi
aktivitas.
·
Mengungkapkan
peningkatan tingkat energi.
·
Menunjukkan perbaikan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Tindakan
/ intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1. Diskusikan
kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dan identifikasi aktivitas
yang menimbulkan kelelahan.
|
Pendidikan dapat memberikan
motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun klien sangat lemah.
|
2.
Diskusikan penyebab
keletihan seperti nyeri sendi, penurunan efisiensi tidur, peningkatan upaya
yang diperlukan untuk ADL.
|
Dengan
mengetahui penyebab keletihan, dapat menyusun jadwal aktivitas.
|
3.
Bantu
mengidentivikasi pola energi dan buat rentang keletihan. Skala 0-10 (0=tidak
lelah, 10= sangat kelelahan)
|
Mengidentifikasi
waktu puncak energi dan kelelahan membantu dalam merencanakan akivitas untuk
memaksimalkan konserfasi energi dan produktivitas.
|
4.
Berikan aktivitas
alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.
|
Mencegah
kelelahan yang berlebih.
|
5.
Pantau nadi ,
frekuensi nafas, serta tekanan darah sebelum dan seudah melakukan aktivitas.
|
Mengindikasikan
tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
|
6.
Tingkatkan
partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kebutuhan.
|
Memungkinkan
kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat
ditoleransi.
|
7.
Ajarkan untuk
mengidentifikasi tanda dan gejala yang menunjukkan peningkatan aktivitas
penyakit dan mengurangi aktivitas, seperti demam, penurunan berat badan,
keletihan makin memburuk.
|
Membantu
dalam mengantisipasi terjadinya keletihan yang berlebihan.
|
e.
Risiko
tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
Tujuan
: setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Dengan Kriteria hasil :
·
Tidak
ada rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesia.
·
Terjadi
perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Rencana /
intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan sperti
demam, kemerahan, adanya pus pada luka, sputum purulen, urine warna keruh
atau berkabut.
|
Pasien
mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan
ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
|
2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci
tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk
pasiennya sendiri.
|
Mencegah
timbulnya infeksi nosokomial.
|
3.
Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
|
Kadar
glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi meddia terbaik dalam pertumbuhan
kuman.
|
4.
Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase daerah
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dan tetap
kencang.
|
Sirkulasi
perifer bisa terganggu dan menempatkan pasien pada peningkatan risiko
terjadinya kerusakan pada kulit.
|
5. Berikan tisue dan tempat sputum pada tempat yang mudah
dijangkau untuk penampungan sputum atau secret yang lainnya.
|
Mengurangi
penyebaran infeksi.
|
Kolaborasi
|
|
6. Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas sesuai
dengan indikasi.
|
Untuk
mengidentifikasi adanya organisme sehingga dapat memilih atau memberikan
terapi antibiotik yang terbaik.
|
7. Berikan obat antibiotik yang sesuai
|
Penanganan
awal dapat mambantu mencegah timbulnya sepsis.
|
f. Resiko
terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi injuri
Dengan Kriteria hasil :
·
Dapat menunjukkan
terjadinya perubahan perilaku untuk menurunkan factor risiko dan untuk
melindungi diri dari cidera.
·
Mengubah
lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
Rencana /
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1. Hindarkan
lantai yang licin.
|
Lantai licin
dapat menyebabkan risiko jatuh pada pasien.
|
2.
Gunakan bed yang
rendah.
|
Mempermudah
pasien untuk naik dan turun dari tempat tidur.
|
3.
Orientasikan klien
dengan ruangan.
|
Lansia daya
ingatnya sudah menurun, sehingga diperlukan orientasi ruangan agar lansia bisa
menyesuaikan diri terhadap ruangan.
|
4.
Bantu klien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari
|
Lansia sudah
mengalami penurunan dalam fisik, sehingga dalam melakukan aktivitas sehari
diperlukan bantuan dari orang lainsesuai dengan yang dapat ditoleransi
|
5. Bantu
pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
|
Keterbatasan
aktivitas tergantung pada kondisi lansia.
|
DAFTAR PUSTAKA
Doenges,
Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes
Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Kushariyadi.2010.Asuhan
Keperawatan pada Klien Lanjut Usia.Jakarta : Salemba Medika
Luecknote,
Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani,
Jakarta:EGC, 1997.
Mary Baradero, Mary Wilfrid dan Yakobus
Siswandi. 2009. Klien Gangguan Endokrin:
Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa
H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
Langganan:
Postingan (Atom)